Jakarta, CNBC Indonesia - Ditutup di level US$ 64.5/metrik ton pada perdagangan akhir pekan lalu (23/8/2019), harga batu bara acuan Newcastle kontrak pengiriman September tercatat anjlok 1,45% dalam sepekan.
Bahkan ini merupakan posisi terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir atau sejak Juli 2016.
Perlambatan ekonomi global masih menjadi sentimen utama yang memberi beban pada harga si batu legam.
Terlebih pada akhir pekan lalu perang dagang Amerika Serikat (AS)-China kembali mengalami eskalasi.
Pemerintah China mengumumkan bea masuk baru sekitar 5-10% atas produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Untuk sebagian produk, bea masuk tersebut berlaku efektif mulai 1 September 2019. Selain itu ada pula beberapa produk yang bea masuknya batu akan berlaku per 15 Desember 2019.
Tak hanya itu, China juga kembali mengaktifkan bea masuk sebesar 25% terhadap mobil-mobil pabrikan AS, serta tarif 5% atas komponen mobil. Tarif tersebut mulai berlaku efektif pada 15 Desember 2019.
"Sebagai respons terhadap tindakan AS, China terpaksa mengambil langkah balasan," tulis pernyataan resmi pemerintah China, dilansir dari CNBC International.
Sebagai informasi, sebelumnya tarif atas mobil AS dan komponennya sudah pernah dikenakan oleh pemerintah China. Namun pada April 2019, tarif tersebut sempat dihapus seiring degan berjalannya perundingan dagang yang intensif dengan pemerintah AS.
Tidak perlu lama bagi Presiden AS, Donald Trump, untuk bereaksi terhadap langkah yang diambil Negeri Tirai Bambu.
Melalui cuitan di Twitter, Trump mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.
Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.
Parahnya, ketakutan pelaku pasar semakin membuncah melihat sinyal-sinyal resesi perekonomian di AS.
Pada akhiri pekan lalu (23/8/2019), kurva inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Sebelumnya, inversi yield pada dua seri obligasi tersebut juga sempat terjadi pada Kamis (15/8/2019).
Sebagai informasi, fenomena inversi yield terjadi saat imbal hasil obligasi jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Artinya investor melihat risiko jangka pendek lebih besar daripada jangka panjang.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Resesi merupakan fenomena dimana perekonomian tumbuh negatif alias terkontraksi dalam dua kuartal beruntun di tahun yang sama.
Jika AS sampai benar-benar mengalami resesi, maka seluruh dunia juga akan terkena dampaknya. Wajar, karena Negeri Paman Sam merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Resesi tentu saja bukan berita baik di pasar komoditas energi, termasuk batu bara. Pasalnya pertumbuhan permintaan energi akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global. Kala perekonomian terkontraksi, permintaan energi pun kemungkinan besar juga akan mengalami hal serupa.
Celakanya, risiko resesi datang di saat pasokan batu bara melimpah.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor batu bara thermal Indonesia pada bulan Mei meningkat 20% dibanding tahun sebelumnya menjadi 30,6 juta ton.
Sebagian besar, 86%, dari total batu bara thermal ekspor Indonesia merupakan jenis Sub-Bituminous. Sisanya merupakan batu bara bituminous.
India merupakan target utama ekspor batu bara Indonesia, yang mencapai 10,3 juta ton pada bulan Mei. Jumlah tersebut meningkat 3% dibanding bulan sebelumnya.
Sementara ekspor batu bara Indonesia ke China pada bulan Mei mencapai 7,2 juta ton yang merupakan tertinggi sejak Januari 2014. Volume ekspor tersebut naik 57% dibanding bulan sebelumnya, dan naik dua kali lipat lebih dari tahun sebelumnya.
Sebagaimana yang telah diketahui, Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar kedua di dunia, yang bersaing ketat dengan Australia.
Peningkatan pasokan dari Indonesia tentu akan berdampak signifikan terhadap keseimbangan fundamental di pasar global.
TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/taa)
Bahkan ini merupakan posisi terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir atau sejak Juli 2016.
Perlambatan ekonomi global masih menjadi sentimen utama yang memberi beban pada harga si batu legam.
Terlebih pada akhir pekan lalu perang dagang Amerika Serikat (AS)-China kembali mengalami eskalasi.
Pemerintah China mengumumkan bea masuk baru sekitar 5-10% atas produk impor asal AS senilai US$ 75 miliar. Untuk sebagian produk, bea masuk tersebut berlaku efektif mulai 1 September 2019. Selain itu ada pula beberapa produk yang bea masuknya batu akan berlaku per 15 Desember 2019.
Tak hanya itu, China juga kembali mengaktifkan bea masuk sebesar 25% terhadap mobil-mobil pabrikan AS, serta tarif 5% atas komponen mobil. Tarif tersebut mulai berlaku efektif pada 15 Desember 2019.
"Sebagai respons terhadap tindakan AS, China terpaksa mengambil langkah balasan," tulis pernyataan resmi pemerintah China, dilansir dari CNBC International.
Sebagai informasi, sebelumnya tarif atas mobil AS dan komponennya sudah pernah dikenakan oleh pemerintah China. Namun pada April 2019, tarif tersebut sempat dihapus seiring degan berjalannya perundingan dagang yang intensif dengan pemerintah AS.
Tidak perlu lama bagi Presiden AS, Donald Trump, untuk bereaksi terhadap langkah yang diambil Negeri Tirai Bambu.
Melalui cuitan di Twitter, Trump mengumumkan bahwa per tanggal 1 Oktober, pihaknya akan menaikkan bea masuk bagi US$ 250 miliar produk impor asal China, dari yang saat ini sebesar 25% menjadi 30%.
Sementara itu, bea masuk bagi produk impor asal China lainnya senilai US$ 300 miliar yang akan mulai berlaku pada 1 September (ada beberapa produk yang pengenaan bea masuknya diundur hingga 15 Desember), akan dinaikkan menjadi 15% dari rencana sebelumnya yang hanya sebesar 10%.
Parahnya, ketakutan pelaku pasar semakin membuncah melihat sinyal-sinyal resesi perekonomian di AS.
Pada akhiri pekan lalu (23/8/2019), kurva inversi imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 2 dan 10 tahun kembali terjadi. Sebelumnya, inversi yield pada dua seri obligasi tersebut juga sempat terjadi pada Kamis (15/8/2019).
Sebagai informasi, fenomena inversi yield terjadi saat imbal hasil obligasi jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang. Artinya investor melihat risiko jangka pendek lebih besar daripada jangka panjang.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Resesi merupakan fenomena dimana perekonomian tumbuh negatif alias terkontraksi dalam dua kuartal beruntun di tahun yang sama.
Jika AS sampai benar-benar mengalami resesi, maka seluruh dunia juga akan terkena dampaknya. Wajar, karena Negeri Paman Sam merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Resesi tentu saja bukan berita baik di pasar komoditas energi, termasuk batu bara. Pasalnya pertumbuhan permintaan energi akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global. Kala perekonomian terkontraksi, permintaan energi pun kemungkinan besar juga akan mengalami hal serupa.
Celakanya, risiko resesi datang di saat pasokan batu bara melimpah.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor batu bara thermal Indonesia pada bulan Mei meningkat 20% dibanding tahun sebelumnya menjadi 30,6 juta ton.
Sebagian besar, 86%, dari total batu bara thermal ekspor Indonesia merupakan jenis Sub-Bituminous. Sisanya merupakan batu bara bituminous.
India merupakan target utama ekspor batu bara Indonesia, yang mencapai 10,3 juta ton pada bulan Mei. Jumlah tersebut meningkat 3% dibanding bulan sebelumnya.
Sementara ekspor batu bara Indonesia ke China pada bulan Mei mencapai 7,2 juta ton yang merupakan tertinggi sejak Januari 2014. Volume ekspor tersebut naik 57% dibanding bulan sebelumnya, dan naik dua kali lipat lebih dari tahun sebelumnya.
Sebagaimana yang telah diketahui, Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar kedua di dunia, yang bersaing ketat dengan Australia.
Peningkatan pasokan dari Indonesia tentu akan berdampak signifikan terhadap keseimbangan fundamental di pasar global.
TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/taa)
Komentar
Posting Komentar